Breaking News
Loading...
Jumat, 09 November 2012

Ta'lim Kontekstual

15.28
ilustrasi kitab ta'lim





BUKU  TA’LIM  KONTEKSTUAL

(PANDUAN PELAJAR BERBASIS ETIKA BELAJAR)



KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.


Segala puji bagi Allah yang telah memberikan keutamaan terhadap manusia berupa ilmu pengetahuan dan kreativitas-produktivitas dibanding lainya.


Limpahan sholawat semoga tetep tercurahkan kepada Beliau Nabi Muhammad SAW, keluarga dan sahabatnya atas aicon berkat dan pusat rujukan berbagai sumber ilmu pengetahuan dan sikap arif-kebijaksanaan.


PROLOG

“Suatu negara megabaikan pendidikan warganya, tinggal menunggu keusangannya”

“Suatu masyarakat tek peduli pendidikannya, tinggal menunggu keresahannya”

“Seseorang tak menyadari arti pendidikan terhadap dirinya, tinggal menunggu kapan para tuan memperbudaknya”

“Seseorang mengabaikan ahlak dalam pendidikannya, tinggal tunggu kegersangan jiwanya”.

“Setiap muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu sepanjang hayat”


Sebuah kenyataan bukan lagi omongan-omongan di berbagai plosok penjuru tanah air ini, mulai dari pojok kampong desa sampai pada perkampungan elit merasakan resah dan cemas terhadap nasib pendidikan negeri ini. Resah dan kecemasan itu bukan cuma bertumpu pada kebijakan yang selalu berubah-ubah yang ahirnya berimbas pada kualitas, akan tetapi lebih dari itu. Pendek kata pendidikan kita mengalami problem sistemik yang pelik dalam berbagai aspek.


Problem sistemik yang pelik dalam berbagai aspek tersebut bukan timbul dengan sendirinya, melainkan ada banyak faktor yang saling mempengaruhi yang pada ahirnya berdampak pada kemandekan pendidikan ini. Faktor-faktor yang mempengaruhi problem sistemik tersebut diantaranya adalah :

a.      Pengaruh Global

Masyarakat secara umum menyebut globalisasi adalah proses penyebaran segala sesuatu yang dirasa sangat cepat dan bersifat mendunia. Dengan demikian globalisasi merupakan “transfor-infor” global aspek yang meliputi persaingan budaya, intrusi budaya dan badai informasi yang multi aspek dengan kepentingannya masing-masing. Dengan pemahaman yang semacam ini, globalisasi tidak cukup dimaknai suatu proses yang sifatnya satu arah (a one-way proses) melainkan globalisasi dipahami sebagai suatu proses yang sifatnya dua arah {a two-way proses).Tidak heran jika dikalangan masyarakat kita terjadi suatu fenomena berbudaya kebarat-baratan tanpa tahu hakekat budaya barat yang sebenarnya. semisal “masyarakat kita merasa bangga dan trendy kalau berpakaian dan bergaya hidup layaknya orang-orang luar negeri dari pada berbudaya kebudayaannya sendiri. Hal ini terjadi karena globalisasi mempunyai ekses melokalnya hal-hal yang datang dari luar dengan tanpa batas.


Berpola dari pemahaman semacam ini, menurut tokoh sosiolog Peter JM Nas, globalisasi mempunyai tiga prespektif yaitu prespektif global, nasional dan lokal. Untuk memaknai globalisasi dengan tiga prespektif ini menurut Nas juga, kita harus melihat bahwasannya globalisasi merupakan sebuah reaksi dan elaborasi terhadap dua gejala sosiologis yang sekarang ini sedang terjadi yaitu berkembangnya”the world system dan modernization”. Dengan pemahaman sederhana kita hidup dalam diri yang terpolarisasi dengan tatanan system diluar kita.


Mengingat kondisi realitas yang semacam ini, tidaklah cukup untuk berpangku tangan atau cuma mewacanakan kesana kemari tanpa praktik dalam menghadapi arus globalisasi ini. Namun harus diingat apa yang dilakukan adalah sebuah pilihan yang membawa dampak kedepan. Ada dua pilihan dalam menghadapi arus globalisasi ini, yaitu membiarkan diri terseret pada proses globalisasi atau memanfa’atkan proses globalisasi untuk membangun dan menegakkan citra diri bangsa dan negara ini. Kalaulah memilih, pasti yang terahir. Jika demikian, maka memasuki apa yang dinamakan “the world system” (masyarakat dan system dunia) dengan sadar dan ikhlash disamping mendivinisikan dan mempola modernitas yang dipilih dengan jelas, tidak lagi ambiguitas yang tanpa definitive.


Coba kita renungkan bersama kerangka pemikiran dan latar pemahaman diatas, terus kita jadikan alat analisa terhadap kondisi riel pendidikan yang selama ini kita rasakan, sudahkah sikap dan sistem pendidikan kita menjadi sistem menara gading pembentukan karakter building yang dapat dan dipertanggungjawabkan dalam kebangsaan dan kenegaraan kita. Kalaulah belum, mungkinkah sikap dan system pendidikan kita masih abu-abu dan kurang firnes dalam pilihannya. Perlukah kita menoreh sedikit sikap para “Kiai Sepuh” yang notabene tradisional namun mempunyai keistiqomahan, uswah dan keikhlasan dalam mendharmakan secara simultan “Taqwa (manifestasi dari keimanan dan keagamaanya sekaligus sebagai penguatan dan pengamalan ideologi pancasila), teori dipraktikkan (bukan sibuk teori dan wacana, lupa praktik) dan kemanusiaan.


b.      Sistem Pendidikan Nasional.

Ada suatu penelitian PBB yang dituangkan dalam indek pembangunan manusia atau IPM (Human Development Index) memberikan informasi bahwa pendidikan nasional Indonesia menduduki urutan peringkat ke 102 dari 162 negara yang diteliti. Hasil penelitian PBB ini memberikan gambaran sejauhmana keberhasilan sistem pendidikan kita dalam mempersiapkan peserta didiknya, walau tidak bisa dipungkiri ada beberapa peserta bangsa yang mengharumkan nama bangsa ini dalam olimpiade ilmu pengetahuan pada tingkat dunia.


Mengungkapkan hasil penelitian ini bekan berarti apriori terhadap pendidikan kita, namun dalam konteks ini hanyalah sebagai kilas balik dan sebagai alat intruspeksi akan pendidikan kita untuk mencoba mencernati, memahami dan  mencari celah bersama tanpa menyalahkan siapapun sebagai penanggungjawab moral untuk menjawab sebuah pertanyaan “apa yang dapat kita lakukan dalam belenggu problematik pendidikan nasional ini?”.Dengan demikian, mari mulai sekarang kita bangun bersama bahwa : “Suatu bangsa melalaikan pendidikan berarti menelantarkan masa depannya”.


Berdasar latar pemahaman diatas, cobalah kita baca ulang historis perjalanan pendidikan nasional ini sebagai bahan instruspeksi dan instrumen untuk mencari celah apa yang dapat kita lakukan. Dalam perjalanannya, pendidikan nasional indonesia dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu :

a)      Periode 1908 – 1945/1959.

Pada fase ini, bangsa Indonesia mempunyai sistem pendidikan yang berkarakter  watak kultural . Hal ini bisa dilihat pada masa kolonial, sistem pendidikan nasional Indonesia berkarakter nasionalisme dan patriotisme dan pada masa pendudukan Jepang, sistem pendidikan nasional Indonesia berkarakter berketahanan yang kuat atas visi dan misi kebangsaan. Sedangkan pada tahun 50-an, sistem pendidikan nasional bangsa ini masih mempertahankan karakter berketahanan dan ditambah adanya keluwesan yang tinggi sesuai dengan watak kultural bangsa.

b)     Periode 1960 – 1998.

Periode ini dikenal dengan istilah periode orde baru atau periode pembangunan yaitu suatu fase keberlangsungan pembangunan yang merata diseluruh bangsa ini, namun sayang kecenderungannya pada pembangunan fisik yang lebih diutamakan walau tidak serta merta secara total mengabaikan pembangunan mental. Dengan ketidak seimbangan program pembangunan pendidikan tersebut, ahirnya berdampak pada terjadinya apa yang dinamakan degradasi pendidikan (pendidikan yang tercerabut dari akar kulturalnya) secara utuh. Ekses tersebut sebenarnya dapat dipahami dari menganalisis secara kritis akan pola pemahaman paradigma pembangunan yang bertumpu pada sistem keteraturan (order paradigm) sehingga tidak dianggap suatu yang “aneh” dan dianggap suatu kewajaran suatu institusi sekolah telah menjadi bagian dari birokrasi.


Dampak dari sistem pendidikan yang berparadigma semacam ini akan berbuntut pada problem yang berkepanjangan sebgaimana yang dirasa sekarang ini bahwasannya komponen pendidikan yang seharusnya mempunyai otoritas otonom yang berkarakter dan dapat dipertanggungjwabkan sevara moral dalam kependidikannya, ahirnya cuma sebagai pelaksana program-program pemerintah atau sekedar sebagai pelaksana instruksi birokratif yang kadang terjadi pengkebiran atas hak-haknya. Disisi lain berdampak pada out put sekolah yang gagap dengan lingkungannya, secara fisik membanggakan namun secara rohani dan jati diri masih jauh dari yang diharapkan.        


c)      Periode 1999 sampai dengan sekarang.

Periode ini sering disebut sebagai periode reformasi. Suatu periode yang memberikan ruang terhadap masyarakat untuk ikut terlibat langsung dalam membangun bangsanya dalam berbagai aspek kehidupan. Periode ini juga sering dikatakan sebagai era kesadaran masyarakat untuk berperan aktif dalam proses demokratisasi dan pembangunan negara dan bangsanya (era civilition buillding).


Dalam ranah pendidikan, pada era ini, memberikan ruang gerak yang luas terhadap seluruh komponen pendidikan (institusi pemerintah, institusi sekolah dan masyarakat) untuk merumuskan dan mengkonsep sistem dan bentuk pendidikan sebagai wujud rekonstruksi sistem pendidikan yang ada, namun sayang  hampir seluruh komponen pendidikan mengalami sindrom (gagap) dan eforia dengan adanya reformasi. Sikap gagap dan eforia tersebut disebabkan karena adanya problem nasional yang belum tuntas. Kurang lebih ada tiga problematik yang dihadapi  pada masa ini, yaitu :

a.      Masalah I, mencakup : ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan “arogansi kekuasaan”.

b.      Masalah II, mencakup : kebringasan sosial dan prilaku sosial yang menyimpang, dan

c.       Masalah III, mencakup : perubahan tata nilai dan perobahan gaya hidup sosial.


Untuk menyikapi problem-problem nasional diatas, komponen bangsa ini mengangkat issu sentral “reformasi pendidikan”. Pada tataran issu ini, ahirnya menjadi diskursus apakah reformasi yang dimaksud adalah reformasi dalam artian mengadakan perubahan disana-sini dan tetap mempertahankan sistem pendidikan yang ada? ataukah reformasi yang berarti transformatif (merubah bentuk dan watak secara mendasar menjadi bentuk dan watak yang berkarakter beda).  


Dalam konteks ini, ada sebuah solusi yang ditawarkan oleh sistem pendidikan nasional, yaitu sistem otonomi pendidikan (pengembalian peran fungsi pendidikan pada otoritas masyarakat dan sekolah dengan kekuatan watak kulturalnya) dengan model pendekatan kurikulum KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang kemudian dilanjutkan dan disempurnakan lewat kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dengan mengalokasikan  20 % dari dana anggaran APBN. Disisi lain, mengadakan program profesionalisasi yaitu dalam bentuk program sertifikasi guru sebagai pembentukan guru profesional dan akriditasi sekolah sebagai pembentukan lembaga sekolah yang profesional dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun dalam realitasnya, problematika tersebut masih menghantui bangsa ini dan masih tetap memberikan problematika tersendiri pada dunia pendidikan. Hal ini disebabkan karena adanya kekurangsiapan komponen-komponen pendidikan yang ada.


Problematika tersendiri pada sistem pendidikan nasional ini, bisa dilihat dari 1) Belum adanya kejelasan dan transfaransi siapa penanggungjawab biaya pendidikan, walau sudah ada program BOS, BOM dll. 2)  Mis under standing antara masyarakat, civitas pendidikan dengan birokrasi pendidikan mengenai maksud dan makna perobahan kurikulum. 3) Mis paradigmatik newlidge learning  (muatan pelajaran) antara birokasi pendidikan dengan masyarakat dan komponen pendidikan lainnya. Hal ini disebabkan karena masih kuatnya pengaruh hegemoni sistem pendidikan masa sebelumnya. Fenomena ini bisa dilihat pada saat-saat menjelang dan waktu pelaksanaan EBTANAS dimana dari berbagai pihak komponen pendidikan tidak siap, tidak adil dan kurang firnes dalam pelaksanaannya. Sebagai contoh dari birokrasi pemerintah membuat kebijakan tentang ketuntasan nilai dan pembatasan mapel-mapel tertentu yang dijadikan materi UAN/UASBN tidak sesuai dengan kondisi rata-rata kemampuan dan materi pokok ajar antar sekolah secara umum diseluruh Indonesia, dan dari komponen sekolah melakukan upaya-upaya pelulusan peserta didiknya semisal memberikan bantuan isi jawaban dengan berbagai trik tiem sukses UAN/UASBNyang sudah dibentuk oleh masing-masing sekolah, sehingga dalam konteks ini, pelajarlah yang menjadi korban dan dirugikan baik secara individu dan sosial, materi dan moral, terutama dalam keadilan.


Berdasar atas realitas sistem pendidikan yang sarat dengan problematik diatas, maka tak bisa disalahkan secara serta merta apabila peserta didik tak dapat mencapai standart mutu kelulusan yang telah ditetapkan oleh pemerintah walau sebenarnya masih jauh dari standart mutu internasional. Ketidak tercapainya mutu secara fair sebagaimana standart kelulusan  ini berdampak abu-abu dalam pencapaian hasil kependidikannya baik pada out put maupun out came kependidikan mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Sehingga tak jarang kita lihat dari banyaknya lulusan suatu lembaga sekolah sampai perguruan tinggi dikatakan sukses dalam pencapaian ilmu pengetahuan dengan predikat menyandang gelar akademik bagi perguruan tinggi dan mendapat sertifikasi ijazah bagi pendidikan tingkat dasar sampai menengah, namun masih belum mampu berdialektik dengan lingkungannya,tak mampu transfor-infor keilmuannya dan masih gagap dalam praktikum keilmuannya apalagi untuk menjawab problem solving sosialnya. Dengan demikian taksalah jika aset potensi khazanah budaya nasional kita terancam dengan pihak-pihak asing. 


Untuk menyikapi multi-problematika pendidikan diatas, dari berbagai komponen bangsa ini tidak serta merta saling menyalahkan antara satu dengan yang lainnya. Hal tersebut tidak akan menyelesaikan masalah bahkan akan menambah beban tersendiri terbadap generasi bangsa ini.


Dengan demikian apa yang dapat dilakukan ? Celah mana yang dapat dibidik sebagai peran serta dalam membangun bangsa ini ?  Apakah lewat birokrasi pemerintah ?, kelihatannya akan berdialektika terlebih dahulu dengan sistem birokrasi dan segala problem yang masih dideritanya. Apakah lewat institusi sekolah ?, mungkin bisa, namun bagaimana dengan sitem dan tatanan baku (kebijakan-kebijakan sekolah) yang masih belum merdeka. Apakah lewat masyarakat ?. Mungkinkah masyarakat sudah terberdaya untuk menyadari kependidikan bangsanya ?.  Kalaulah lewat komponen ini yang dikira dapat dijadikan media problem solving kependidikan bangsa ini dan dipandang sebagai sebuah peluang, dengan melihat bahwasanya masyarakat nota bene adalah komonitas sosial yang pranata-pranatanya bisa berubah karena konstruksi sosialnya, maka tidak ada salahnya jika kita menerobos dengan penuh keyakinan bahwanya masyarakat adalah sebagai media pembaharuan pendidikan.  
  

Kalaulah masyarakat dijadikan media pembaharuan pendidikan sebagai bentuk perobahan sebagaimana yang dikehendaki, maka seraya mengatakan bahwa kita setuju masuk sistem dunia dengan istilah The World System dengan konsekuensi kita harus merumuskan konsep pendidikan yang berkarakter global dan modern yang dapat dipertanggungjawabkan dalam konteks karakter buillding kebangsaan dan keindonesiaannya.  Yang  menjadi problem selanjutnya adalah masyarakat yang mana yang dapat dijadikan pilot projek sebagai agen (obyek dan subyek) dalam perobahan dan pembaharuan pendidikan bangsa ini.


Untuk menjawab hal tersebut,bisa dimulai dengan mencoba menganalisis kecenderungan-kecenderungan masyarakat pada abad globalisasi ini. Ada ciri-ciri baru yang perlu dicermati dan diperhatikan pada peralihan masyarakat abad ini dengan abad-abad sebelumnya. Kecenderungan dan ciri-ciri baru tersebut diantaranya adalah adanya daya tarik menarik yang kuat antara integrasi global dan fragmentasi global, arus globalisasi, sains dan teknologi, proses industrialisasi dan gaya hidup baru beserta ekses-eksesnya.

Kecenderungan dan ciri-ciri baru masyarakat tersebut ketika didialektikkan dengan kondisi riel pendidikan bangsa ini beserta berbagai problem yang melilitnya, maka sayugyanya ada beberapa hal yang seharusnya dipersiapkan secara sadar dan dapat dipertanggungjawabkan. Diantaranya adalah tentang penegasan kembali terhadap jati diri bangsa, produktifitas, pendewasaan, demokrasi dan membangun citra diri sebagai karakter yang berkepribadian serta menanamkan pemahaman analisis kesadaran global pada individu dan lingkungan siosialnya.


Kalau sudah jelas, apa yang perlu dipersiapkan dan apa yang seharusnya dilakukan oleh segenap komponen pindidikan yang sadar dan merasa punya tanggung jawab secara moral akan kondisi semacam ini, maka sekiranya dapat diminig sedini mungkin langkah-langkah dan bentuk peranan dari setiap komponen, namun sebelumnya perlu ditelaah terlebih dahulu  kira-kira apa fokus garapan segenap komponen yang dinilai signifikan dalam proses pendidikan dengan memandang pendidikan dalam konteks kontruksi sosial bisa dimulai dari perkembangan pranata-pranata masyarakat akan perkembangan sosialnya.


Dengan pendekatan analisis yang sederhana semacam ini,dapatlah dirunut peranan-peranan komponen pendidikan secara sederhana, yaitu komponen dari institusi pemerintah (birokrasi pendidikan) sebagai penanggung jawab akan keberlangsungannya pendidikan, institusi sekolah sebagai penanggung jawab secara kelembagaan, dan masyarakat sebagai penanggung jawab dalam peranan dan kontrol sosialnya. Dari ketiga komponen tersebut ada satu fokus yang dijadikan pilot projek garapan dan sekaligus dijadikan diskursus yang berkepanjangan yaitu obyek dan sekaligus subyek pendidikan. Dalam hal ini tidak lain adalah peserta didik (siswa dan mahasiswa)


Kalaulah peserta didik yang dijadikan fokus pilot projek garapan, maka apa yang harus diberikan padanya ?. Apa yang seharusnya diberikan, haruslah mengacu pada problem yang melilitnya dan mengacu pada tujuan pendidikan itu sendiri. Menurut hemat saya, peserta didik sayogyanya diberikan penanaman pemahaman hakekat hidup “pencerahan kemampuan untuk memuliakan hidup”(ennobling life) dan the busic dalam proses pendidikannya, artinya segenap kegiatan pendidikan secara sadar mempersiapkan peserta didik untuk mampu menjalani kehidupan sesuai dengan busic yang ditekuninya untuk memenuhi tuntutan kehidupannya baik duniawi maupun uhrowi (preparing human for life), bukan sekedar mempersiapkan peserta didik untuk pekerjaan semata.

Dalam konteks ennobling life dan the basic a preparing human for life harus memuat aspek-aspek kognitif, afektif dan konatif tak cukup psikomotorik sebagai satu kesatuan yang utuh. Hal ini melihat pendidikan adalah proses pembentukan karakter buillding penciptaan insan kamil, insan yang excelland dengan dunia dan kependidikannya sekaligus pembentukan insan yang memperanfungsikan dirinya pada posisi fitrohnya yaitu sebagai abdullah dan kholifatullah.


Dari sudut posisi fitroh dan pendidikan sebagai prosesing carakter buillding ketika didialektikkan dengan problem pendidikan  selama ini, terutama yang melilit sebagian besar peserta didik  dalam proses kependidikannya mulai input, proses, out put dan out came yang disana-sini mengalami ambigu akan sosial dan dunia pendidikannya, maka terlihat jelas dan bisa dimungkinkan bahkan dapat dipastikan bahwa setiap individu peserta didik mengalami problem diri dalam dunia belajar dan pendidikannya secara umum. Hal ini dapat dilihat dari faktor kesemangatan dan ketidak semangatan peserta didik dalam belajarnya yang mereka rata-rata menggantungkan nasibnya pada standart nilai kelulusan yang pada dasarnya sebagai bentuk nilai verbal angka-angka pada setiap ujian  maupun ulangan dan lebih disayangkan lagi, mereka tek pernah menyadari bahwa nilai-nilai tersebut adalah cuma nilai-nilai keberhasilan dibidang IQ (rasionalitas dan daya intelegensi) sebagai bentuk penguasaan materi ilmu pengetahuan semata.


Gejolak dan kecemasan akan kegagalan dan keberhasilan peserta didik semacam ini menunjukkan dunia pendidikan kita kurang memperhatikan integralisasi dan sinergitas potensi kecerdasan emosional (EQ) dan potensi kecerdasan spiritual (SQ), namun baru konsen terhadap potensi kecerdasan intelegensi (IQ) sebagai standarisasi keberhasilan. Padahal idealitas standarisasi pendidikan tidak cukup dinilai dari aspek IQ semata namun harus melibatkan penilaian aspek EQ dan SQ sebagai satu kesatuan yang utuh sebagai standart tolak ukur keberhasilan. Keberhasilan yang dimaksud adalah keberhasilan dalam ennobling life dan the busic a preparing human for life.


Berdasarkan pemaparan fakta dan kerangka pemikiran datas, menunjukkan bahwasanya sistem pendidikan kita mengalami problem sistemik yang akut dalam proses kependidikannya sehingga hampir semua peserta didik  mengalami problem diri dalam proses belajar dan kependidikannya. Problem sistemik pada kelembagaan dan individu peserta didik semacam ini, pernah dipaparkan oleh Ulama’ dan tokoh pendidikan (Syeikh AL Jarnuzy) pada abad 12 yang lalu. Menurut Beliau, problem sistemik pendidikan terutama problem yang dihadapi setiap peserta didik dalam proses kependidikannya dengan indikasi ketidak tercapaian out put dan out came yang diharapkan sesuai dengan tujuan pendidikan itu disebabkan oleh dua hal, yaitu : 

a.      Miss leanding to process sistemic education and learning atau ada sesuatu yang salah dalam proses belajar dan sistem pendidikan yang dialami oleh setiap peserta didik. Hal ini diantaranya menyangkut masalah methode, strategi dan pembagian kapasitas muatan materi pendidikan dalam proses belajar dan kependidikannya.

b.      Klick to hard and software by sistemic education and learning atau adanya perangkat-perangkat yang terabaikan oleh peserta didik dalam proses belajar dan proses kependidikannya. Hal ini diantaranya menyangkut masalah paradigma, prinsip, tujuan, visi - misi dan prasarat belajar dsb.


Diungkapkan lebih lanjut, bahwasannya dampak dari dua hal problem mendasar tersebut, peserta didik menjadi terpasung pada sistem pendidikan dan sosialnya serta gagap dalam praktikum atau uji laborat dan pengembangan keilmuannya apalagi untuk menjawab tantangan sosialnya, kalaulah ada yang berhasil (mempunyai nilai prestatif yang dapat diunggulkan) mungkin masih jauh dari apa yang diharapkan atau cuma sedikit jumlahnya dibanding dengan prosentase skala statistik yang ada.

Berangkat dari realitas, pengamatan dan hasil dari riset penelitiuan yang menemukan problem sistemik belajar dan proses kependidikan diatas serta kegalauan akan fenomena pendidikan yang berlangsung dari para peduli pendidikan, maka beliau dengan penuh tangan terbuka, lapang dada, dan dengan kejernihan hati dan kedewasaan berfikir mencoba memberikan sumbangan pemikirannya dengan mengajukan solusi alternatif atas problem tersebut dengan mendasarkan pemikirannya pada konsep AL Hal. Yaitu konsep yang terfokus pada the divinition of knowlidge, the purpose of learning dan the methode and strategic approache of studying. Konsep Al Hal tersebut disusun berdasarkan atas penelitian dan pengalaman empirik baik secara studi pustaka maupun studi lapangan, komparasi pendapat dan pandangan dari para ilmuan (ulama’) dan filosof yang konsen terhadap pendidikan yaitu para guru-guru besar beliau sekaligus memohon restu, doa tabarukan dan bimbingan (konsultasi kependidikan) dalam proses perumusannya serta menggunakan pendekatan proses problem solving intuistik relegius transendent (istihoroh).


Konsep Al Hal tersebut dinamakan dan terkenal dengan istilah  “Konsep Ta’lim Muta’allim”. Dalam tulisan ini, konsep tersebut saya sebut dengan istilah Konsep “Sistem Silabi Pendidikan Berkepribadian” yaitu suatu konsep methodhologis dan konsep filosofis atas dasar fitroh manusia yang bersumber dari nilai-nilai,intelegensia,emosional, spiritual, etika, estetika, sosio-budaya, agama dan keyakinan.


Konsep tersebut terdiri dari tiga belas bab yang merupakan sistem learning dan kependidikan yang bersifat holistik atau sebuah sistem belajar dan kependidikan yang utuh dan menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Konsep tiga belas bab tersebut terdiri atas :

a.      Paradigma Belajar (Hakekat dan Keutamaan Ilmu Pengetahuan dan Fiqih Etika Sosial)

b.      Niat Revolosioner Learning (Visi-Misi Belajar)

c.       Pembentukan Milliau Belajar (Konsep Memilih Ilmu, Guru dan Teman)

d.     Eksistensialitas Ilmu Pengetahuan dan Ilmuwan (Etika Penghormatan Terhadap Ilmu Pengetahuan dan Ilmuan)

e.      Produktivitas dalam Belajar (Skuntum Aktivita Kreativitas / Giat, Kontinuitas dan  Cita-Cita dalam Belajar)

f.        Sistematika Methodologi dan Strategi Belajar (Kiat Belajar Pemula, Proporsi Belajar Sistematika Belajar)

g.      Tawakal

h.       Menegement Waktu Belajar (Prinsip Dasar Kiat Penguasaan Ilmu Pengetahuan pada Masa Belajar)
i.         Nasehat dan Humanisme (Prinsip Dasar Kiat Penyampaian dan Pengamalan / Transformasi Ilmu Pengetahuan)

j.         Mencari Faedah (Sistem Pemahaman dan Pengembangan Keilmuan / Epistemologi Filosofis Sains)

k.      Wira’i (Integritas, Kapabelitas Kredebilitas Insan Terpelajar)

l.        Faktor Penunjang Kecerdasan dan Kebodohan

m.   Masalah Umur dan Rizqi


Semoga konsep AL Hal “konsep sistem silabi pendidikan berkepribadian (Pembentukan karakter buillding individu terpelajar dan pembentukan milliau belajar) ini senantiasa mendapatkan limpahan pertolongan dan lindungan dari Allah SWT. Amin,

Segala halnya kami pasrahkan padaNya dan segala halnya akan kembali padaNya. 




0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer