Walisongo atau Wali sembilan dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad 15 - 16. Mereka tinggal ditiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya, Gresik, Lamongan (Jatim), Demak, Kudus, Muria (Jateng) dan Cirebon Jawa Barat.
Era Walisongo adalah era berahirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan bentuk akulturasi-asimilasi kebudayaan Islam-Nusantara. Mereka adalah simbol penyebaran Islam Indonesia khususnya Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang berperan, namun mereka yang sangat berperan besar dalam mendirikan kerajaan dan peradaban di Jawa dan Nusantara pada umumnya. Pengaruhnya terhadap kebudayaan dan peradaban masyarakat secara luas serta dakwahnya yang secara langsung yang seiring dengan kebutuhan dan pencerahan masyarakat pada masa itu, membuat para Walisongo lebih banyak disebut dan dikenal dibanding yang lainnya.
- Walisongo Sebagai Pembawa Rahmat Nusantara
Para walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Nusantara terutama Jawa mulai dari bidang pendidikan, kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan hingga kepemerintahan.
Apa yang telah diukir Walisongo di Nusantara merupakan hasil sejarah. Sejarah bukanlah penggalan waktu yang diam. Sejarah merupakan rangkaian waktu yang saling mempengaruhi. Masa kini dipengaruhi masa lalu, sedangkan masa depan dipengaruhi masa kini dan masa lalu. Islam bisa besar saat ini, tentu karena perjuangan panjang di masa lalu. Islam juga akan tetap besar di masa mendatang, jika mulai sekarang kita torehkan tinta emas. Ingat..! Sejarah yang bernilai adalah sejarah yang menjadi mata air generasi, tak akan lapuk oleh waktu dan tak akan usang oleh zaman. Nah, sebagai proses menumbuhkan kesadaran bersejarah, mari kita menengok sebentar sejarah dan pola penyebaran Islam di Nusantara oleh Para Walisongo.
- Masuknya Islam ke Indonesia
Dalam
litelatur sejarah, proses penyebaran Islam di Nusantara berbeda dengan
kawasan-kawasan lainnya, seperti Timur Tengah, Afrika, Eropa, dsb. Yang banyak
diwarnai oleh kekerasan dan bahkan peperangan yang silih berganti dan
berkepanjangan. Proses penyebaran Islam di Nusantara berlangsung dengan damai
dan sukarela.
Para
Mubalighin (Walisongo) yang mula-mula sebagian besar mrangkap sebagai pedagang,
menyampaikan Islam dengan penuh keramahan, kedamaian dan kebijaksanaan,
kemudian diterima oleh penduduk kawasan ini dengan sukarela, tanpa perlawanan –
apalagi kekerasan. Mungkin hal ini disebabkan karena mereka tidak mempunyai
kepentingan untuk menolak agama baru ini, bahkan cenderung berkepentingan
menerimanya untuk meningkatkan kualitas diri mereka sebagai manusia.
Kedamaian
dan kesukarelaan ini yang menyebabkan Islam yang berkembang di Indonesia
menemukan wajahnya kembali secara utuh sebagai agama Rahmatan Lil ’Alamin,
sebagaimana firman Allah SWT :
!$tBur
»oYù=yör& wÎ)
ZptHôqy
úüÏJn=»yèù=Ïj9
”Sungguh, Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) , kecuali sebagai
rahmat (cinta kasih) bagi seluruh alam”.
(Q. Al-Anbiya’. 107).
Rosulullah
pernah bersabda :
المسلم من سلم الناس من يده
ولسانه
”Seorang muslim (yang baik) adalah orang yang orang lain selamat
dari (kerugian yang timbul karena) tangannya (perbuatan) dan lisannya
(kata-katanya)”.
Dalam
sejarah Indonesia, tidak pernah terjadi peperangan yang benar-benar karena
agama. Kalau toh terjadi tindak kekerasan antar pemeluk agama yang berbeda,
biasanya karena sebab-sebab di luar agama (yang kemudian diagamakan).
Islam
yang Rahmatan Lil ’Alamin inilah yang merata dianut oleh kaum
muslimin Indonesia sejak awal, berabad-abad yang lalu. Sampai sekarang, pada
dasarnya kaum muslimin Indonesia berwatak seperti itu. Kalau ada penyimpangan,
maka hal itu hanyalah bersifat sementara karena adanya semacam gangguan
sporadis.
- Pola Penyebaran Islam di Indonesia.
Penerimaan
Islam di Indonesia yang bernuansa damai ini disebabkan pola dan pendekatan para
penyebarnya (Walisongo). Berbicara pola penyebaran Islam oleh Walisongo, ada
beberapa bentuk yang dapat diketahui, sebagaimana berikut :
a. Pola
Ekonomi
Dilihat
dari awalnya, para pedagang muslim hanya memiliki misi ekonomi. Namun, setelah
melihat Indonesia yang belum tersentuh ajaran Islam, para pedagang muslim ini
terpanggil untuk berdakwah. Satu persatu masyarakat pribumi tertarik Islam.
Sehingga, dalam waktu yang relatif singkat kawasan pesisir menjadi pusat
perdagangan yang berbasis muslim. Hal ini, dapat diterima dan berkembang
dikarenakan :
- Ajaran Islam sangat luwes, sehingga dapat diterapkan pada semua kebutuhan dan kondisi.
- Ajaran Islam sejalan dengan semangat perdagangan.
- Islam menjadi wadah baru yang mempersatukan perniagaan mereka (komunitas perdagangan).
b. Pola
Sosiologis.
Pola
pendekatan sosiologis ini bisa dilihat dari proses sosialisasi para mubalig
yang notabene adalah pedagang. Para mubalig ini, memilih pendekatan secara
emosional dengan penduduk pribumi dengan lewat pernikahan, anjangsana dan
penabiban serta membangun komunitas
(perkampungan) . Lewat jalur
inilah yang dinilai sangat berhasil karena merupakan pola pendekatan yang
sangat kompromistik, humanis dan jauh dari konflik dan pertikaian.
c. Pola
Budaya
Pada
masa-masa awal penyebaran Islam, seni merupakan salah satu media yang cukup
efektif dalam berdakwah. Alasan penggunaan seni sebagai media dakwah
diantaranya:
- Kesenian sudah mengakar di masyarakat tanpa mengenal status sosial, sehingga Islam menjadi lebih akrab dalam keseharian masyarakat.
- Bahasa seni merupakan bahasa yang simpel dan fleksibel (luas-luwes), sehingga dakwah mudah dicerna oleh masyarakat.
- Masyarakat tidak tercerabut dari akar budayanya, sehingga Islam diterima dengan terbuka karena ajaran Islam dirasakan akomodatif, toleran dan cocok terhadap adat istiadat yang sudah mengakar di masyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar