ilustrasi kitab ta'lim |
BUKU TA’LIM KONTEKSTUAL
(PANDUAN PELAJAR BERBASIS ETIKA BELAJAR)
KATA
PENGANTAR
Dengan
menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala
puji bagi Allah yang telah memberikan keutamaan terhadap manusia berupa ilmu
pengetahuan dan kreativitas-produktivitas dibanding lainya.
Limpahan
sholawat semoga tetep tercurahkan kepada Beliau Nabi Muhammad SAW, keluarga dan
sahabatnya atas aicon berkat dan pusat rujukan berbagai sumber ilmu pengetahuan
dan sikap arif-kebijaksanaan.
PROLOG
“Suatu
negara megabaikan pendidikan warganya, tinggal menunggu keusangannya”
“Suatu
masyarakat tek peduli pendidikannya, tinggal menunggu keresahannya”
“Seseorang
tak menyadari arti pendidikan terhadap dirinya, tinggal menunggu kapan para
tuan memperbudaknya”
“Seseorang
mengabaikan ahlak dalam pendidikannya, tinggal tunggu kegersangan jiwanya”.
“Setiap
muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu sepanjang hayat”
Sebuah
kenyataan bukan lagi omongan-omongan di berbagai plosok penjuru tanah air ini,
mulai dari pojok kampong desa sampai pada perkampungan elit merasakan resah dan
cemas terhadap nasib pendidikan negeri ini. Resah dan kecemasan itu bukan cuma
bertumpu pada kebijakan yang selalu berubah-ubah yang ahirnya berimbas pada
kualitas, akan tetapi lebih dari itu. Pendek kata pendidikan kita mengalami
problem sistemik yang pelik dalam berbagai aspek.
Problem
sistemik yang pelik dalam berbagai aspek tersebut bukan timbul dengan
sendirinya, melainkan ada banyak faktor yang saling mempengaruhi yang pada
ahirnya berdampak pada kemandekan pendidikan ini. Faktor-faktor yang
mempengaruhi problem sistemik tersebut diantaranya adalah :
a. Pengaruh Global
Masyarakat secara umum
menyebut globalisasi adalah proses penyebaran segala sesuatu yang dirasa sangat
cepat dan bersifat mendunia. Dengan demikian globalisasi merupakan
“transfor-infor” global aspek yang meliputi persaingan budaya, intrusi budaya
dan badai informasi yang multi aspek dengan kepentingannya masing-masing.
Dengan pemahaman yang semacam ini, globalisasi tidak cukup dimaknai suatu
proses yang sifatnya satu arah (a one-way proses) melainkan globalisasi
dipahami sebagai suatu proses yang sifatnya dua arah {a two-way proses).Tidak
heran jika dikalangan masyarakat kita terjadi suatu fenomena berbudaya
kebarat-baratan tanpa tahu hakekat budaya barat yang sebenarnya. semisal
“masyarakat kita merasa bangga dan trendy kalau berpakaian dan bergaya hidup
layaknya orang-orang luar negeri dari pada berbudaya kebudayaannya sendiri. Hal
ini terjadi karena globalisasi mempunyai ekses melokalnya hal-hal yang datang
dari luar dengan tanpa batas.
Berpola dari pemahaman
semacam ini, menurut tokoh sosiolog Peter JM Nas, globalisasi mempunyai tiga
prespektif yaitu prespektif global, nasional dan lokal. Untuk memaknai
globalisasi dengan tiga prespektif ini menurut Nas juga, kita harus melihat
bahwasannya globalisasi merupakan sebuah reaksi dan elaborasi terhadap dua
gejala sosiologis yang sekarang ini sedang terjadi yaitu berkembangnya”the
world system dan modernization”. Dengan pemahaman sederhana kita hidup dalam
diri yang terpolarisasi dengan tatanan system diluar kita.
Mengingat kondisi
realitas yang semacam ini, tidaklah cukup untuk berpangku tangan atau cuma
mewacanakan kesana kemari tanpa praktik dalam menghadapi arus globalisasi ini.
Namun harus diingat apa yang dilakukan adalah sebuah pilihan yang membawa
dampak kedepan. Ada dua pilihan dalam menghadapi arus globalisasi ini, yaitu
membiarkan diri terseret pada proses globalisasi atau memanfa’atkan proses
globalisasi untuk membangun dan menegakkan citra diri bangsa dan negara ini.
Kalaulah memilih, pasti yang terahir. Jika demikian, maka memasuki apa yang
dinamakan “the world system” (masyarakat dan system dunia) dengan sadar dan
ikhlash disamping mendivinisikan dan mempola modernitas yang dipilih dengan
jelas, tidak lagi ambiguitas yang tanpa definitive.
Coba kita renungkan
bersama kerangka pemikiran dan latar pemahaman diatas, terus kita jadikan alat
analisa terhadap kondisi riel pendidikan yang selama ini kita rasakan, sudahkah
sikap dan sistem pendidikan kita menjadi sistem menara gading pembentukan
karakter building yang dapat dan dipertanggungjawabkan dalam kebangsaan dan
kenegaraan kita. Kalaulah belum, mungkinkah sikap dan system pendidikan kita
masih abu-abu dan kurang firnes dalam pilihannya. Perlukah kita menoreh sedikit
sikap para “Kiai Sepuh” yang notabene tradisional namun mempunyai
keistiqomahan, uswah dan keikhlasan dalam mendharmakan secara simultan “Taqwa
(manifestasi dari keimanan dan keagamaanya sekaligus sebagai penguatan dan
pengamalan ideologi pancasila), teori dipraktikkan (bukan sibuk teori dan wacana,
lupa praktik) dan kemanusiaan.
b. Sistem Pendidikan Nasional.
Ada
suatu penelitian PBB yang dituangkan dalam indek pembangunan manusia atau IPM (Human
Development Index) memberikan informasi bahwa pendidikan nasional Indonesia
menduduki urutan peringkat ke 102 dari 162 negara yang diteliti. Hasil
penelitian PBB ini memberikan gambaran sejauhmana keberhasilan sistem
pendidikan kita dalam mempersiapkan peserta didiknya, walau tidak bisa
dipungkiri ada beberapa peserta bangsa yang mengharumkan nama bangsa ini dalam
olimpiade ilmu pengetahuan pada tingkat dunia.
Mengungkapkan
hasil penelitian ini bekan berarti apriori terhadap pendidikan kita, namun
dalam konteks ini hanyalah sebagai kilas balik dan sebagai alat intruspeksi
akan pendidikan kita untuk mencoba mencernati, memahami dan mencari celah
bersama tanpa menyalahkan siapapun sebagai penanggungjawab moral untuk menjawab
sebuah pertanyaan “apa yang dapat kita lakukan dalam belenggu problematik
pendidikan nasional ini?”.Dengan demikian, mari mulai sekarang kita bangun
bersama bahwa : “Suatu bangsa melalaikan pendidikan berarti menelantarkan masa
depannya”.
Berdasar
latar pemahaman diatas, cobalah kita baca ulang historis perjalanan pendidikan
nasional ini sebagai bahan instruspeksi dan instrumen untuk mencari celah apa
yang dapat kita lakukan. Dalam perjalanannya, pendidikan nasional indonesia
dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu :
a) Periode 1908 – 1945/1959.
Pada fase ini, bangsa
Indonesia mempunyai sistem pendidikan yang berkarakter watak kultural . Hal ini bisa dilihat pada masa
kolonial, sistem pendidikan nasional Indonesia berkarakter nasionalisme dan
patriotisme dan pada masa pendudukan Jepang, sistem pendidikan nasional
Indonesia berkarakter berketahanan yang kuat atas visi dan misi kebangsaan.
Sedangkan pada tahun 50-an, sistem pendidikan nasional bangsa ini masih
mempertahankan karakter berketahanan dan ditambah adanya keluwesan yang tinggi
sesuai dengan watak kultural bangsa.
b) Periode 1960 – 1998.
Periode ini dikenal
dengan istilah periode orde
baru atau periode pembangunan
yaitu suatu fase keberlangsungan pembangunan yang merata diseluruh bangsa ini,
namun sayang kecenderungannya pada pembangunan fisik yang lebih diutamakan
walau tidak serta merta secara total mengabaikan pembangunan mental. Dengan
ketidak seimbangan program pembangunan pendidikan tersebut, ahirnya berdampak
pada terjadinya apa yang dinamakan degradasi
pendidikan (pendidikan yang
tercerabut dari akar kulturalnya) secara utuh. Ekses tersebut sebenarnya dapat
dipahami dari menganalisis secara kritis akan pola pemahaman paradigma
pembangunan yang bertumpu pada sistem keteraturan (order paradigm) sehingga
tidak dianggap suatu yang “aneh” dan dianggap suatu kewajaran suatu institusi
sekolah telah menjadi bagian dari birokrasi.
Dampak dari sistem
pendidikan yang berparadigma semacam ini akan berbuntut pada problem yang
berkepanjangan sebgaimana yang dirasa sekarang ini bahwasannya komponen
pendidikan yang seharusnya mempunyai otoritas otonom yang berkarakter dan dapat
dipertanggungjwabkan sevara moral dalam kependidikannya, ahirnya cuma sebagai
pelaksana program-program pemerintah atau sekedar sebagai pelaksana instruksi
birokratif yang kadang terjadi pengkebiran atas hak-haknya. Disisi lain
berdampak pada out put sekolah yang gagap dengan lingkungannya, secara fisik
membanggakan namun secara rohani dan jati diri masih jauh dari yang
diharapkan.
c) Periode 1999 sampai dengan sekarang.
Periode ini sering
disebut sebagai periode
reformasi. Suatu periode yang
memberikan ruang terhadap masyarakat untuk ikut terlibat langsung dalam
membangun bangsanya dalam berbagai aspek kehidupan. Periode ini juga sering
dikatakan sebagai era kesadaran masyarakat untuk berperan aktif dalam proses
demokratisasi dan pembangunan negara dan bangsanya (era civilition buillding).
Dalam
ranah pendidikan, pada era ini, memberikan ruang gerak yang luas terhadap
seluruh komponen pendidikan (institusi pemerintah, institusi sekolah dan
masyarakat) untuk merumuskan dan mengkonsep sistem dan bentuk pendidikan
sebagai wujud rekonstruksi sistem pendidikan yang ada, namun sayang
hampir seluruh komponen pendidikan mengalami sindrom (gagap) dan eforia dengan
adanya reformasi. Sikap gagap dan eforia tersebut disebabkan karena adanya
problem nasional yang belum tuntas. Kurang lebih ada tiga problematik yang
dihadapi pada masa ini, yaitu :
a. Masalah I, mencakup : ketidakadilan,
kesewenang-wenangan dan “arogansi kekuasaan”.
b. Masalah II, mencakup : kebringasan sosial dan
prilaku sosial yang menyimpang, dan
c. Masalah III, mencakup : perubahan tata nilai
dan perobahan gaya hidup sosial.
Untuk
menyikapi problem-problem nasional diatas, komponen bangsa ini mengangkat issu
sentral “reformasi pendidikan”. Pada tataran issu ini, ahirnya menjadi
diskursus apakah reformasi yang dimaksud adalah reformasi dalam artian
mengadakan perubahan disana-sini dan tetap mempertahankan sistem pendidikan
yang ada? ataukah reformasi yang berarti transformatif (merubah bentuk dan
watak secara mendasar menjadi bentuk dan watak yang berkarakter beda).
Dalam
konteks ini, ada sebuah solusi yang ditawarkan oleh sistem pendidikan nasional,
yaitu sistem otonomi pendidikan (pengembalian peran fungsi pendidikan pada
otoritas masyarakat dan sekolah dengan kekuatan watak kulturalnya) dengan model
pendekatan kurikulum KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang kemudian dilanjutkan
dan disempurnakan lewat kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
dengan mengalokasikan 20 % dari dana anggaran APBN. Disisi lain,
mengadakan program profesionalisasi yaitu dalam bentuk program sertifikasi guru
sebagai pembentukan guru profesional dan akriditasi sekolah sebagai pembentukan
lembaga sekolah yang profesional dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun dalam
realitasnya, problematika tersebut masih menghantui bangsa ini dan masih tetap
memberikan problematika tersendiri pada dunia pendidikan. Hal ini disebabkan
karena adanya kekurangsiapan komponen-komponen pendidikan yang ada.
Problematika
tersendiri pada sistem pendidikan nasional ini, bisa dilihat dari 1) Belum
adanya kejelasan dan transfaransi siapa penanggungjawab biaya pendidikan, walau
sudah ada program BOS, BOM dll. 2) Mis under standing antara masyarakat,
civitas pendidikan dengan birokrasi pendidikan mengenai maksud dan makna
perobahan kurikulum. 3) Mis paradigmatik newlidge learning (muatan
pelajaran) antara birokasi pendidikan dengan masyarakat dan komponen pendidikan
lainnya. Hal ini disebabkan karena masih kuatnya pengaruh hegemoni sistem
pendidikan masa sebelumnya. Fenomena ini bisa dilihat pada saat-saat menjelang
dan waktu pelaksanaan EBTANAS dimana dari berbagai pihak komponen pendidikan
tidak siap, tidak adil dan kurang firnes dalam pelaksanaannya. Sebagai contoh
dari birokrasi pemerintah membuat kebijakan tentang ketuntasan nilai dan
pembatasan mapel-mapel tertentu yang dijadikan materi UAN/UASBN tidak sesuai dengan
kondisi rata-rata kemampuan dan materi pokok ajar antar sekolah secara umum
diseluruh Indonesia, dan dari komponen sekolah melakukan upaya-upaya pelulusan
peserta didiknya semisal memberikan bantuan isi jawaban dengan berbagai trik
tiem sukses UAN/UASBNyang sudah dibentuk oleh masing-masing sekolah, sehingga
dalam konteks ini, pelajarlah yang menjadi korban dan dirugikan baik secara
individu dan sosial, materi dan moral, terutama dalam keadilan.
Berdasar
atas realitas sistem pendidikan yang sarat dengan problematik diatas, maka tak
bisa disalahkan secara serta merta apabila peserta didik tak dapat mencapai
standart mutu kelulusan yang telah ditetapkan oleh pemerintah walau sebenarnya
masih jauh dari standart mutu internasional. Ketidak tercapainya mutu secara
fair sebagaimana standart kelulusan ini berdampak abu-abu dalam
pencapaian hasil kependidikannya baik pada out put maupun out came kependidikan
mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Sehingga tak jarang kita
lihat dari banyaknya lulusan suatu lembaga sekolah sampai perguruan tinggi
dikatakan sukses dalam pencapaian ilmu pengetahuan dengan predikat menyandang
gelar akademik bagi perguruan tinggi dan mendapat sertifikasi ijazah bagi
pendidikan tingkat dasar sampai menengah, namun masih belum mampu berdialektik
dengan lingkungannya,tak mampu transfor-infor keilmuannya dan masih gagap dalam
praktikum keilmuannya apalagi untuk menjawab problem solving sosialnya. Dengan
demikian taksalah jika aset potensi khazanah budaya nasional kita terancam dengan
pihak-pihak asing.
Untuk
menyikapi multi-problematika pendidikan diatas, dari berbagai komponen bangsa
ini tidak serta merta saling menyalahkan antara satu dengan yang lainnya. Hal
tersebut tidak akan menyelesaikan masalah bahkan akan menambah beban tersendiri
terbadap generasi bangsa ini.
Dengan
demikian apa yang dapat dilakukan ? Celah mana yang dapat dibidik sebagai peran
serta dalam membangun bangsa ini ? Apakah lewat birokrasi pemerintah ?,
kelihatannya akan berdialektika terlebih dahulu dengan sistem birokrasi dan
segala problem yang masih dideritanya. Apakah lewat institusi sekolah ?,
mungkin bisa, namun bagaimana dengan sitem dan tatanan baku
(kebijakan-kebijakan sekolah) yang masih belum merdeka. Apakah lewat masyarakat
?. Mungkinkah masyarakat sudah terberdaya untuk menyadari kependidikan
bangsanya ?. Kalaulah lewat komponen ini yang dikira dapat dijadikan
media problem solving kependidikan bangsa ini dan dipandang sebagai sebuah
peluang, dengan melihat bahwasanya masyarakat nota bene adalah komonitas sosial
yang pranata-pranatanya bisa berubah karena konstruksi sosialnya, maka tidak
ada salahnya jika kita menerobos dengan penuh keyakinan bahwanya masyarakat
adalah sebagai media pembaharuan pendidikan.
Kalaulah
masyarakat dijadikan media pembaharuan pendidikan sebagai bentuk perobahan
sebagaimana yang dikehendaki, maka seraya mengatakan bahwa kita setuju masuk
sistem dunia dengan istilah The World System dengan konsekuensi kita harus
merumuskan konsep pendidikan yang berkarakter global dan modern yang dapat
dipertanggungjawabkan dalam konteks karakter buillding kebangsaan dan
keindonesiaannya. Yang menjadi problem selanjutnya adalah
masyarakat yang mana yang dapat dijadikan pilot projek sebagai agen (obyek dan
subyek) dalam perobahan dan pembaharuan pendidikan bangsa ini.
Untuk
menjawab hal tersebut,bisa dimulai dengan mencoba menganalisis
kecenderungan-kecenderungan masyarakat pada abad globalisasi ini. Ada ciri-ciri
baru yang perlu dicermati dan diperhatikan pada peralihan masyarakat abad ini
dengan abad-abad sebelumnya. Kecenderungan dan ciri-ciri baru tersebut
diantaranya adalah adanya daya tarik menarik yang kuat antara integrasi global
dan fragmentasi global, arus globalisasi, sains dan teknologi, proses
industrialisasi dan gaya hidup baru beserta ekses-eksesnya.
Kecenderungan
dan ciri-ciri baru masyarakat tersebut ketika didialektikkan dengan kondisi
riel pendidikan bangsa ini beserta berbagai problem yang melilitnya, maka
sayugyanya ada beberapa hal yang seharusnya dipersiapkan secara sadar dan dapat
dipertanggungjawabkan. Diantaranya adalah tentang penegasan kembali terhadap
jati diri bangsa, produktifitas, pendewasaan, demokrasi dan membangun citra
diri sebagai karakter yang berkepribadian serta menanamkan pemahaman analisis
kesadaran global pada individu dan lingkungan siosialnya.
Kalau
sudah jelas, apa yang perlu dipersiapkan dan apa yang seharusnya dilakukan oleh
segenap komponen pindidikan yang sadar dan merasa punya tanggung jawab secara
moral akan kondisi semacam ini, maka sekiranya dapat diminig sedini mungkin langkah-langkah
dan bentuk peranan dari setiap komponen, namun sebelumnya perlu ditelaah
terlebih dahulu kira-kira apa fokus garapan segenap komponen yang dinilai
signifikan dalam proses pendidikan dengan memandang pendidikan dalam konteks
kontruksi sosial bisa dimulai dari perkembangan pranata-pranata masyarakat akan
perkembangan sosialnya.
Dengan
pendekatan analisis yang sederhana semacam ini,dapatlah dirunut peranan-peranan
komponen pendidikan secara sederhana, yaitu komponen dari institusi pemerintah
(birokrasi pendidikan) sebagai penanggung jawab akan keberlangsungannya
pendidikan, institusi sekolah sebagai penanggung jawab secara kelembagaan, dan
masyarakat sebagai penanggung jawab dalam peranan dan kontrol sosialnya. Dari
ketiga komponen tersebut ada satu fokus yang dijadikan pilot projek garapan dan
sekaligus dijadikan diskursus yang berkepanjangan yaitu obyek dan sekaligus
subyek pendidikan. Dalam hal ini tidak lain adalah peserta didik (siswa dan
mahasiswa)
Kalaulah
peserta didik yang dijadikan fokus pilot projek garapan, maka apa yang harus
diberikan padanya ?. Apa yang seharusnya diberikan, haruslah mengacu pada
problem yang melilitnya dan mengacu pada tujuan pendidikan itu sendiri. Menurut
hemat saya, peserta didik sayogyanya diberikan penanaman pemahaman hakekat
hidup “pencerahan kemampuan untuk memuliakan hidup”(ennobling life) dan the busic dalam proses pendidikannya, artinya
segenap kegiatan pendidikan secara sadar mempersiapkan peserta didik untuk
mampu menjalani kehidupan sesuai dengan busic yang ditekuninya untuk memenuhi
tuntutan kehidupannya baik duniawi maupun uhrowi (preparing human for life),
bukan sekedar mempersiapkan peserta didik untuk pekerjaan semata.
Dalam
konteks ennobling life dan the
basic a preparing human for life harus
memuat aspek-aspek kognitif, afektif dan konatif tak cukup psikomotorik sebagai
satu kesatuan yang utuh. Hal ini melihat pendidikan adalah proses pembentukan
karakter buillding penciptaan insan kamil, insan yang excelland dengan dunia
dan kependidikannya sekaligus pembentukan insan yang memperanfungsikan dirinya
pada posisi fitrohnya yaitu sebagai abdullah dan kholifatullah.
Dari
sudut posisi fitroh dan pendidikan sebagai prosesing carakter buillding ketika
didialektikkan dengan problem pendidikan selama ini, terutama yang
melilit sebagian besar peserta didik dalam proses kependidikannya mulai
input, proses, out put dan out came yang disana-sini mengalami ambigu akan
sosial dan dunia pendidikannya, maka terlihat jelas dan bisa dimungkinkan
bahkan dapat dipastikan bahwa setiap individu peserta didik mengalami problem
diri dalam dunia belajar dan pendidikannya secara umum. Hal ini dapat dilihat
dari faktor kesemangatan dan ketidak semangatan peserta didik dalam belajarnya
yang mereka rata-rata menggantungkan nasibnya pada standart nilai kelulusan
yang pada dasarnya sebagai bentuk nilai verbal angka-angka pada setiap
ujian maupun ulangan dan lebih disayangkan lagi, mereka tek pernah
menyadari bahwa nilai-nilai tersebut adalah cuma nilai-nilai keberhasilan dibidang
IQ (rasionalitas dan daya intelegensi) sebagai bentuk penguasaan materi ilmu
pengetahuan semata.
Gejolak
dan kecemasan akan kegagalan dan keberhasilan peserta didik semacam ini
menunjukkan dunia pendidikan kita kurang memperhatikan integralisasi dan sinergitas
potensi kecerdasan emosional (EQ) dan potensi kecerdasan spiritual (SQ), namun
baru konsen terhadap potensi kecerdasan intelegensi (IQ) sebagai standarisasi
keberhasilan. Padahal idealitas standarisasi pendidikan tidak cukup dinilai
dari aspek IQ semata namun harus melibatkan penilaian aspek EQ dan SQ sebagai
satu kesatuan yang utuh sebagai standart tolak ukur keberhasilan. Keberhasilan
yang dimaksud adalah keberhasilan dalam ennobling life dan the busic a
preparing human for life.
Berdasarkan
pemaparan fakta dan kerangka pemikiran datas, menunjukkan bahwasanya sistem
pendidikan kita mengalami problem sistemik yang akut dalam proses
kependidikannya sehingga hampir semua peserta didik mengalami problem
diri dalam proses belajar dan kependidikannya. Problem sistemik pada
kelembagaan dan individu peserta didik semacam ini, pernah dipaparkan oleh
Ulama’ dan tokoh pendidikan (Syeikh AL Jarnuzy) pada abad 12 yang lalu. Menurut
Beliau, problem sistemik pendidikan terutama problem yang dihadapi setiap
peserta didik dalam proses kependidikannya dengan indikasi ketidak tercapaian
out put dan out came yang diharapkan sesuai dengan tujuan pendidikan itu
disebabkan oleh dua hal, yaitu :
a. Miss leanding to process
sistemic education and learning atau ada sesuatu yang salah
dalam proses belajar dan sistem pendidikan yang dialami oleh setiap peserta
didik. Hal ini diantaranya menyangkut masalah methode, strategi dan pembagian
kapasitas muatan materi pendidikan dalam proses belajar dan kependidikannya.
b. Klick to hard and software by sistemic education
and learning atau adanya perangkat-perangkat yang terabaikan oleh peserta didik
dalam proses belajar dan proses kependidikannya. Hal ini diantaranya menyangkut
masalah paradigma, prinsip, tujuan, visi - misi dan prasarat belajar dsb.
Diungkapkan
lebih lanjut, bahwasannya dampak dari dua hal problem mendasar tersebut,
peserta didik menjadi terpasung pada sistem pendidikan dan sosialnya serta
gagap dalam praktikum atau uji laborat dan pengembangan keilmuannya apalagi untuk
menjawab tantangan sosialnya, kalaulah ada yang berhasil (mempunyai nilai
prestatif yang dapat diunggulkan) mungkin masih jauh dari apa yang diharapkan
atau cuma sedikit jumlahnya dibanding dengan prosentase skala statistik yang
ada.
Berangkat
dari realitas, pengamatan dan hasil dari riset penelitiuan yang menemukan
problem sistemik belajar dan proses kependidikan diatas serta kegalauan akan
fenomena pendidikan yang berlangsung dari para peduli pendidikan, maka beliau
dengan penuh tangan terbuka, lapang dada, dan dengan kejernihan hati dan
kedewasaan berfikir mencoba memberikan sumbangan pemikirannya dengan mengajukan
solusi alternatif atas problem tersebut dengan mendasarkan pemikirannya pada konsep AL Hal. Yaitu
konsep yang terfokus pada the divinition of knowlidge, the purpose of learning
dan the methode and strategic approache of studying. Konsep Al Hal tersebut disusun
berdasarkan atas penelitian dan pengalaman empirik baik secara studi pustaka
maupun studi lapangan, komparasi pendapat dan pandangan dari para ilmuan
(ulama’) dan filosof yang konsen terhadap pendidikan yaitu para guru-guru besar
beliau sekaligus memohon restu, doa tabarukan dan bimbingan (konsultasi
kependidikan) dalam proses perumusannya serta menggunakan pendekatan proses
problem solving intuistik relegius transendent (istihoroh).
Konsep
Al Hal tersebut dinamakan dan terkenal dengan istilah “Konsep Ta’lim Muta’allim”. Dalam tulisan ini, konsep tersebut
saya sebut dengan istilah Konsep
“Sistem Silabi Pendidikan Berkepribadian” yaitu suatu konsep methodhologis dan
konsep filosofis atas dasar fitroh manusia yang bersumber dari
nilai-nilai,intelegensia,emosional, spiritual, etika, estetika, sosio-budaya,
agama dan keyakinan.
Konsep
tersebut terdiri dari tiga belas bab yang merupakan sistem learning dan
kependidikan yang bersifat holistik atau sebuah sistem belajar dan kependidikan
yang utuh dan menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Konsep tiga belas bab
tersebut terdiri atas :
a. Paradigma Belajar (Hakekat dan Keutamaan Ilmu
Pengetahuan dan Fiqih Etika Sosial)
b. Niat Revolosioner Learning (Visi-Misi Belajar)
c. Pembentukan Milliau Belajar (Konsep Memilih
Ilmu, Guru dan Teman)
d. Eksistensialitas Ilmu Pengetahuan dan Ilmuwan
(Etika Penghormatan Terhadap Ilmu Pengetahuan dan Ilmuan)
e. Produktivitas dalam Belajar (Skuntum Aktivita
Kreativitas / Giat, Kontinuitas dan Cita-Cita dalam Belajar)
f.
Sistematika
Methodologi dan Strategi Belajar (Kiat Belajar Pemula, Proporsi Belajar
Sistematika Belajar)
g. Tawakal
h. Menegement Waktu Belajar (Prinsip Dasar
Kiat Penguasaan Ilmu Pengetahuan pada Masa Belajar)
i.
Nasehat
dan Humanisme (Prinsip Dasar Kiat Penyampaian dan Pengamalan / Transformasi
Ilmu Pengetahuan)
j.
Mencari
Faedah (Sistem Pemahaman dan Pengembangan Keilmuan / Epistemologi Filosofis
Sains)
k. Wira’i (Integritas, Kapabelitas Kredebilitas
Insan Terpelajar)
l.
Faktor
Penunjang Kecerdasan dan Kebodohan
m. Masalah Umur dan Rizqi
Semoga
konsep AL Hal “konsep sistem silabi pendidikan berkepribadian (Pembentukan
karakter buillding individu terpelajar dan pembentukan milliau belajar) ini
senantiasa mendapatkan limpahan pertolongan dan lindungan dari Allah SWT. Amin,
Segala
halnya kami pasrahkan padaNya dan segala halnya akan kembali padaNya.
0 komentar:
Posting Komentar