Diskursus bid’ah seakan-akan menjadi momok dalam sepanjang sejarah Islam yang dimulai dari adanya firqoh-firqoh dalam Islam sampai sekarang ini. Sehingga perkembangan keberagamaan belakangan ini masih menunjukkan begitu tingginya tensi tudingan bid’ah pada seseorang atau kelompok tertentu dengan dalih bahwa kelompok yang tidak sepaham dengannya adalah agen pelaku bid’ah, sehingga mereka tersesat dan berhak masuk neraka. Sementara yang lain juga menuding justru kelompok lainlah yang mengembangkan bid’ah. Saling tuding seperti inilah kemudian menyebabkan perpecahan di kalangan umat Islam. Apa sebetulnya bid’ah itu? Dan apakah benar bid’ah itu selalu berkonotasi negatif, sehingga harus dihilangkan dari muka bumi ini?.
Menurut Al-Imam Abu Muhammad Izzuddin bin Abdissalam, bid’ah adalah :
Menurut Al-Imam Abu Muhammad Izzuddin bin Abdissalam, bid’ah adalah :
البدعة
فعل مالم يعهد فى عصر رسول الله صلى الله عليه و سلم (قواعد الاحكام فى مصالح
الانام .ج
٢
ص ۱۷٢)
”Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rosulullah SAW”. (Qowa’id Al-Ahkam Fi Masholih Al-An’am, Juz II hal.172).
Dalam khazanah pemahaman literatur fiqih, bid’ah secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah syayi’ah (jelek). Lebih lanjut Al-Imam Abu Muhammad Izzuddin bin Abdissalam secara terperinci menjelaskan bahwa sebagian besar Ulama’ membagi bid’ah menjadi lima macam, yaitu :Bid’ah Wajibah, yakni bid’ah yang dilakukan untuk mewujudkan hal-hal yang diwajibkan oleh syara’, seperti mempelajari ilmu Nahwu, Shorof dan Balagoh. Sebab, hanya dengan mempelajari ilmu-imlu inilah seseorang dapat memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits secara sempurna.
Bid’ah Mandubah, yakni segala sesuatu yang baik tapi tidak pernah dilakukan pada masa Rosulullah SAW. Misalnya sholat tarawih secara berjama’ah, mendirikan pesantren dan madrasah.
Bid’ah Mubahah, kebebasan untuk menjalankan seperti berjabat tangan setelah sholat dan makan-makanan yang lezat.
Bid’ah Muharramah, yakni bid’ah yang bertentangan dengan syara’.
Bid’ah Makruhah, boleh mengerjakan tapi lebih baik untuk meninggalkan seperti menghiasi masjid dengan hiasan yang berlebihan. (Qowa’id Al-Ahkam Fi Masholih Al-An’am, Juz II. Hal. 173).
Bid’ah Mandubah, yakni segala sesuatu yang baik tapi tidak pernah dilakukan pada masa Rosulullah SAW. Misalnya sholat tarawih secara berjama’ah, mendirikan pesantren dan madrasah.
Bid’ah Mubahah, kebebasan untuk menjalankan seperti berjabat tangan setelah sholat dan makan-makanan yang lezat.
Bid’ah Muharramah, yakni bid’ah yang bertentangan dengan syara’.
Bid’ah Makruhah, boleh mengerjakan tapi lebih baik untuk meninggalkan seperti menghiasi masjid dengan hiasan yang berlebihan. (Qowa’id Al-Ahkam Fi Masholih Al-An’am, Juz II. Hal. 173).
Sedangkan secara garis besar, Ulama’ membagi bid’ah menjadi dua bagian, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Syafi’i :
”Susuatu yang diada-adakan itu ada dua macam. Pertama, sesuatu yang baru itu menyalahi Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, atsar Sahabat atau ijma’ Ulama’. Semacam ini dinamakan Bid’ah Dlalallah (sesat). Kedua, Jika sesuatu yang baru tersebut termasuk kebajikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari Al-Qur’an, Sunnah Nabi, Atsar Sahabat dan Ijma’ para Ulama’ maka perbuatan tersebut tergolong perbuatan baru yang tidak sest (Bid’ah Hasanah). (Fathul Al-Bari, Juz XVII, h.10).
المحدثات ضربان ما احدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو
إجماعا فهده بدعة الضلال و ما أحدث من الخير لايخالف شيأ من ذلك فهى محدثة غير
مدمومة (فتح البارى,ج. ۱۷ ص ۱٠)
”Susuatu yang diada-adakan itu ada dua macam. Pertama, sesuatu yang baru itu menyalahi Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, atsar Sahabat atau ijma’ Ulama’. Semacam ini dinamakan Bid’ah Dlalallah (sesat). Kedua, Jika sesuatu yang baru tersebut termasuk kebajikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari Al-Qur’an, Sunnah Nabi, Atsar Sahabat dan Ijma’ para Ulama’ maka perbuatan tersebut tergolong perbuatan baru yang tidak sest (Bid’ah Hasanah). (Fathul Al-Bari, Juz XVII, h.10).
Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa bid’ah
terbagi menjadi dua bagian. Yaitu : pertama , Bid’ah Hasanah, yakni bid’ah yang tidak terlarang
dalam agama, karena mengandung unsur yang baik dan tidak bertentangan dengan
ajaran agama. Masuk dalam kategori ini adalah bid’ah wajibah, bid’ah mandubah
dan bid’ah mubahah. Dalam konteks inilah fatwa Sayyidina Umar bin Khotob ra.
Tentang jama’ah sholat tarawih yang beliau laksanakan :
”Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (yakni sholat tarawih dengan berjama’ah)”. (Al-Muwaththa’, h.231).
نعمة البدعة هذه. (تاموطأ, رقم ٢٣۱)
”Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (yakni sholat tarawih dengan berjama’ah)”. (Al-Muwaththa’, h.231).
Selain fatwa Syyidina Umar tentang sholat tarawih
berjama’ah yang termasuk sebagai kategori bid’ah khasanah adalah khutbah yang
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia , membuka sesuatu acara dimulai dengan
membaca basmalah dibawah seorang komando, menambah bacaan Subhanallahu Wata’ala yang disingkat dengan SWT setiap ada kalimat Allah,
dan Sholallahu ’Alaihi Wassallam yang disingkat SAW setiap ada kata Muhammad
serta bentuk perbuatan lain yang belum pernah ada pada masa Rosulullah SAW,
namun tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
Kedua, Bid’ah Sayyiah (Bid’ah Dlolalah),
yaitu bid’ah yang mengandung unsur negatif dan
dapat merusak ajaran dan norma agama Islam. Bid’ah Muharramah dapat
digolongkan pada bagian kedua ini. Inilah yang dimaksud dengan sabda Nabi
Muhammad SAW :
”Dari Aisyah ra, ia berkata, sesungguhnya Rosulullah Saw bersabda: ”Barang siapa yang melakukan perbuatan yang tida perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak”. (Shohih Muslim, h.243).
عن عائسة رضي
الله عنها قالت ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من عمل عملا ليس عليه امرنا
فهورد. (صحيح مسلم, رقم ٢٤٣)
”Dari Aisyah ra, ia berkata, sesungguhnya Rosulullah Saw bersabda: ”Barang siapa yang melakukan perbuatan yang tida perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak”. (Shohih Muslim, h.243).
Dengan pembagian ini, dapat disimpulkan bahwa tidak
semua bid’ah itu dilarang agama. Sebab yang tidak diperkenankan adalah
perbuatan yang dikhawatirkan menghancurkan sendi-sendi agama Islam. Sedangkan
amaliyah yang akan menambah syiar dan daya tarik agama Islam tidak dilarang.
Bahkan untuk saat ini sudah waktunya umat Islam lebih kreatif untuk menjawab
berbagai persoalan dan tantangan zaman yang makin kompleks, sehingga agama
Islam akan relevan disetiap waktu dan tempat. Meminjam istilah Gus Dur ”Islam
dapat membumi” tidak melangit, sehingga Islam tidak ditinggalkan oleh umatnya.
Wallahu A’lam Bisshowab.
Sumber: Buku "Fiqih Galak Gampil" - PP. Ngalah - Darut Taqwa - Pandean - Sengonagung - Purwosari - Pasuruan - Jatim
Website: http://pondokngalah.net
Sumber: Buku "Fiqih Galak Gampil" - PP. Ngalah - Darut Taqwa - Pandean - Sengonagung - Purwosari - Pasuruan - Jatim
Website: http://pondokngalah.net
0 komentar:
Posting Komentar